Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Bagi orang yang sudah selesai
melaksanakan shalat fardhu lalu akan melanjutkan dengan shalat sunnah
ba’diyah dianjurkan untuk memisahkannya dengan berbicara atau berpindah
ke tempat lain. Dan pemisah yang paling utama adalah dengan berpindah
tempat ke rumah. Karena shalat yang seorang laki-laki paling utama
dilaksanakan di rumahnya kecuali shalat wajib. Hal tersebut sebagaimana
hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,
فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ
“Sesungguhnya shalat seseorang yang paling utama adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahihain, dari Zaid bin Tsabit)
Sementara dalil yang menunjukkan sunnah
memisahkan shalat fardhu dan shalat sunnah dengan perkataan atau pindah
tempat adalah hadits yang dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahihnya
(1463), dari Mu’awiyah radhiyallaahu 'anhu yang menegur Saaib
bin Ukhti Namr saat shalat Jum’at bersamanya di Maqshurah. Ketika imam
selesai salam, Saaib langsung berdiri di tempatnya untuk mengerjakan
shalat (sunnah). Ketika Mu’awiyah masuk, ia mengutus seseorang kepadanya
dan menyampaikan pesan:
لَا تَعُدْ
لِمَا فَعَلْتَ إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ
حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ
حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Jangan ulangi lagi apa yang baru
saja engkau lakukan. Jika kamu shalat Jum’at, janganlah kamu
menyambungnya dengan shalat lain sehingga kamu berbicara atau keluar.
Karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam memerintahkan kita
seperti itu, yakni agar kita tidak menyambung satu shalat dengan shalat
lain sehingga kita berbicara atau keluar terlebih dahulu.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 1463)
Imam al-Nawawi rahimahullah berkata,
“Di dalamnya terdapat dalil yang sesuai dengan yang dikatakan para
sahabat kami bahwa shalat sunnah rawatib dan lainnya disunnahkan untuk
dialihkan (pelaksanaannya) dari tempat shalat fardhu ke tempat lain. Dan
berpindah tempat yang paling utama adalah ke rumahnya. Jika tidak, maka
tempat lain dalam masjid atau lainnya agar tempat-tempat sujudnya
semakin banyak dan agar terbedakan antara shalat yang sunnah dari yang
wajib. Dan sabda beliau, ‘sehingga kita berbicara’ merupakan dalil
pemisah di antara keduanya bisa juga terpenuhi hanya dengan berbicara,
tetapi berpindah tempat itulah yang lebih utama sebagaimana yang telah
kami sebutkan.” (Syarh Muslim, Imam al-Nawawi, 6/170-171)
Abu Dawud (854) dan Ibnu Majah (1417) dan ini adalah lafadz miliknya, dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
أَيَعْجِزُ
أَحَدُكُمْ إِذَا صَلَّى أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ أَوْ عَنْ
يَمِينِهِ أَوْ عَنْ شِمَالِهِ ، يَعْنِي : السُّبْحَةَ
“Apakah kamu merasa lemah
(keberatan) apabila kamu shalat untuk maju sedikit atau mundur, atau
pindah ke sebelah kanan atau ke sebelah kiri?, yakni dalam shalat." Maksudnya shalat nafilah setelah shalat fardlu. (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah)
Syaikhul Islam dalam Al-Fatawa al-Kubra
(2/359) berkata, “Dan yang sunnah supaya memisahkan yang wajib dan yang
sunnah dalam shalat Jum’at dan yang lainnya sebagaimana telah
ditetapkan dalam al-Shahih (yakni Shahih al-Bukhari) bahwa beliau Shallallaahu 'Alaihi Wasallam
melarang menyambung shalat dengan shalat sehingga keduanya dipisahkan
dengan berdiri atau berbicara. Janganlah melakukan seperti yang
dikerjakan orang banyak, yakni menyambung salam dengan shalat sunnah dua
rakaat. Sesungguhnya ini melanggar larangan Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam.
Di antara hikmah dalam masalah ini adalah membedakan antara amal fardlu
dengan selainnya, sebagaimana dibedakan antara ibadah dengan yang bukan
ibadah. Karenanya disunnahkan menyegerakan berbuka dan mengakhirkan
sahur, makan pada hari raya Iedul fitri sebelum melaksanakan shalat, dan
larangan menyambut Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari. Semua
ini untuk memisahkan antara yang diperintahkan dan yang tidak
diperintahkan dari masalah puasa, memisahkan antara yang bukan ibadah
dengan yang ibadah, dan seperti inilah cara untuk membedakan antara
shalat Jum’at yang Allah wajibkan dengan yang lainnya,” selesai.
Alasan memisahkan antara yang wajib dan
sunnah adalah untuk membedakan salah satu jenis ibadah dari yang lain.
Sebagian ulama menyebutkan alasan lainnya, yaitu memperbanyak tempat
sujud untuk menjadi saksi pada hari kiamat, sebagaimana yang dikatakan
oleh Imam al-Nawawi rahimahullaah.
Pengarang ‘Aun al-Ma’bud menyebutkan bahwa ‘illah
(alasan) untuk memperbanyak tempat sujud yang akan menjadi saksi
untuknya pada hari kiamat disebutkan oleh Imam al-Bukhari dan
al-Baghawi. ‘Illah ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.”
(QS. Al-zalzalah: 4) Maknanya dia akan mengabarkan amal-amal yang
dilakukan di atasnya. Dan juga disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمْ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ
“Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka . . . .”
(QS. Al-Dukhan: 29) Bahwa seorang mukmin apabila meninggal maka tempat
shalatnya di bumi akan menangis, begitu juga tempat naiknya ke langit.
‘Illah ini menuntut supaya berpindah
tempat dari tempat shalat fardhunya ketika melaksanakan shalat sunnah.
Dan jika tidak berpindah tempat hendaknya memisahkannya dengan berbicara
karena adanya larangan untuk menyambung satu shalat dengan shalat
lainnya sehingga orang yang shalat itu berbicara atau keluar….” selesai.
Imam al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj (1/552)
berkata, “Dan disunnahkan berpindah tempat untuk melaksanakan shalat
sunnah atau fardhu dari tempat shalat fardhu atau sunnahnya ke tempat
lainnya untuk memperbanyak tempat-tempat sujud, karena tempat-tempat itu
akan menjadi saksi baginya dan juga karena dalam hal itu sebagai
kegiatan menghidupan tempat untuk ibadah. Maka apabila tidak berpindah
kepada tempat lain maka memisahkannya dengan berbicara kepada orang,”
selesai.
Kesimpulan
Bahwa disunnahkan untuk berpindah tempat
dari tempat shalat fardhu ketika melaksanakan shalat sunnah ba’diyah.
Berpindah tempat ini untuk membedakan antara shalat fardhu dan shalat
sunnah, dan juga untuk memperbanyak tempat ibadah karena tempat sujud
seseorang akan menjadi saksi kebaikan baginya kelak di hari kiamat.
Tempat yang paling baik untuk berpindah
tempat adalah rumah. Disamping didasarkan kepada hadits Bukhari dan
Muslim di atas juga sebagai upaya untuk menghidupkan rumah dengan ibadah
agar tidak seperti kuburan, karena Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam
melarang menjadikan rumah (laksana) kuburan, yaitu dengan tidak
digukanan sebagai tempat shalat, tilawah Al-Qur’an dan dzikrullah.
Jika berat berpindah tempat ke rumah,
boleh melaksanakannya di masjid dengan tetap berpindah tempat atau
bergeser dari tempatnya semula. Tujuannya, agar semakin banyak tempat
yang digunakannya untuk bersujud sehingga akan semakin banyak tempat
yang menjadi saksi atas kebaikan-kebaikannya. Dan jika tidak seperti
itu, boleh memisahkan shalat sunnah dengan shalat fardhu melalui
perbincangan dengan kawannya.
Semoga tulisan ini memberikan manfaat
untuk para pembaca sehingga mendapatkan kejelasan hujjah berpindah
tempat saat melaksanakan shalat sunnah rawatib. Wallahu Ta’ala A'lam.
(PurWD/voa-islam.com)
No comments
Post a Comment