وَكُلُّ شَيْءٍ يَجْرِيْ بِتَقْدِيْرِهِ وَمَشِيْئَتِهِ وَمَشِيْئَتُهُ تَنْفَذُ
لاَ مَشِيْئَةَ لِلْعِبَادِ إِلاَّ مَا شَاءَ لَهُمْ فَمَا شَاءَ لَهُمْ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ
"Segala sesuatu berjalan sesuai dengan takdir dan kehendak-Nya. Kehendak-Nya pasti terlaksana. Tidak ada kehendak bagi hamba-Nya melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi. Dan apa yang tidak Dia kehendaki tak akan terjadi." (Matan Aqidah Thahawiyyah ke-23)
Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafiy menyatakan bahwa dengan matan yang ke-23 ini Abu Ja’far al-Thahawiy bermaksud menegaskan kemutlakan kehendak Allah. Kehendak yang dimaksud di sini adalah kehendak yang bersifat Kauniyah, bukan Syar’iyyah. Kehendak Kauniyyah adalah kehendak Allah menyangkut segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini; tidak ada yang terjadi dan terwujud kecuali dengan kehendak Allah. Sedangkan kehendak Syar’iyyah adalah kehendak Allah menyangkut perintah dan larangan-Nya; tidak semua yang dikehendaki (baca: diperintahkan dan dilarang oleh Allah) terwujud sebagaimana dikehendaki-Nya. Tentang Masyiatullah yang mutlak ini Allah menjelaskannya dalam beberapa firman-Nya. Di antaranya;
وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيماً حَكِيماً
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Insân: 30)
وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (QS. at-Takwîr: 29)
وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلآئِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَى وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلاً مَّا كَانُواْ لِيُؤْمِنُواْ إِلاَّ أَن يَشَاءَ اللّهُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ
“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-An’âm: 111)
وَالَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ مَن يَشَإِ اللّهُ يُضْلِلْهُ وَمَن يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu, dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk mendapat petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” (QS. al-An’âm: 39)
Kehendak Kauniyyah adalah kehendak Allah menyangkut segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini; tidak ada yang terjadi dan terwujud kecuali dengan kehendak Allah.
Bagaimana bisa seorang muslim menyangka bahwa di dalam wilayah kekuasaan Allah ada sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya. Keliru sekali orang yang berpandangan bahwa Allah ber-Masyiah atas keimanan orang-orang kafir. Namun kehendak orang-orang kafir itu mengalahkan kehendak Allah sehingga mereka pun tetap kafir.
Yang benar, takdir semua makhluk telah ditulis oleh Allah 50.000 tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Termasuk di dalamnya tentang siapa-siapa yang mendapat hidayah, siapa-siapa yang sesat, siapa-siapa yang beriman, dan siapa-siapa yang kafir. Semua tidak ada yang terlewatkan. Semua telah ditulis oleh Allah di Lauh Mahfuzh. Sudah suratan takdir.
. . . takdir semua makhluk telah ditulis oleh Allah 50.000 tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi.
Syubhat Iblis Dan Orang-orang Musyrik
Ujaran "sudah suratan takdir" jika tidak dipahami dengan baik, bisa membuka pintu kesesatan. Pintu yang telah dilalui oleh Iblis dan orang-orang musyrik. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Allah dalam beberapa firman-Nya,
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
“Iblis berkata, “Ya Rabbku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang benar-benar mukhlis di antara mereka".” (QS. al-Hijr:39-40)
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُواْ لَوْ شَاء اللّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلاَ آبَاؤُنَا وَلاَ حَرَّمْنَا مِن شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم حَتَّى ذَاقُواْ بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِندَكُم مِّنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِن تَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ أَنتُمْ إَلاَّ تَخْرُصُونَ
“Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun".” (QS. al-An’âm:148)
وَقَالُوا لَوْ شَاء الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُم مَّا لَهُم بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan mereka berkata, “Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat)".” (QS. az-Zukhruf: 20)
Di hadapan Allah, Iblis menyatakan bahwa Allah-lah yang menghendaki dirinya menjadi makhluk yang sesat. Pernyataan Iblis ini tidak jauh beda dengan pernyataan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa kemusyrikan dan kemaksiatan mereka dan bapak-bapak mereka tidak akan terjadi tanpa Masyiatullah.
Syubhat ‘sudah suratan takdir’ yang dibawakan oleh Iblis dan orang-orang musyrik ini bisa menimbulkan kerancuan jika kita tidak mengembalikan bagaimana memahami permasalahan ini kepada para ulama yang terpercaya.
Penjelasan Para Ulama
Para pensyarah Akidah Thahawiyyah menjelaskan bahwa Iblis dan orang-orang musyrik menyebut Masyiatullah tidak pada tempatnya. Mereka menyebut Masyiatullah bukan ketika mentauhidkan Allah atau menetapkan takdir Allah. Sebaliknya mereka berhujjah untuk kemaksiatan yang mereka lakukan, saat mereka menolak perintah-Nya. Mereka berhujjah dengan Masyiatullah atas keridhaan dan kecintaan-Nya. Mereka hanya mencari pembenaran.
Ini seperti ketika pada masa kekhilafahan al-Faruq ‘Umar bin Khaththab ada seorang pencuri ditanya alasan perbuatannya, dia menjawab bahwa perbuatannya itu telah dikehendaki oleh Allah. Al-Faruq pun memotong tangan pencuri itu. Saat pencuri itu berontak Al-Faruq tidak mempedulikannya. Dan setelah tangan pencuri itu terpotong barulah al-Faruq mendengarkannya. “Mengapa kau potong tanganku, aku mencuri karena dikehendaki oleh Allah?!” kata pencuri itu. Al-Faruq menjawab, “Aku juga memotongnya karena dikehendaki oleh Allah.” Dan pencuri itu pun hanya bisa membisu setelah mendengar jawaban al-Faruq.
Bantahan Untuk Dua Syubhat
Untuk syubhat Iblis para ulama menyatakan; Pertama, kita tidak mengambil agama kita dari Iblis. Kedua, benar bahwa Allah mentakdirkan kesesatan untuk Iblis, tetapi Allah tidak pernah memaksa Iblis untuk sesat. Kita lihat kembali bagaimana Allah memerintahkan Iblis untuk bersujud kepada Adam, namun ia enggan melakukannya. Iblis bermaksiat atas kehendaknya sendiri, dan Allah ber-masyiah atasnya (baca: membiarkannya terjadi). Tentu saja Allah mengancamnya, dan Iblis telah bersiap untuk menanggung akibat kemaksiatannya.
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ الْعَالِينَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ
“Allah berfirman, “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” Iblis berkata, “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” Allah berfirman, “Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah kaum yang diusir, sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan".” (QS. Shâd: 75-78)
Bantahan Syubhat Iblis:
- Pertama, kita tidak mengambil agama kita dari Iblis.
- Kedua, benar bahwa Allah mentakdirkan kesesatan untuk Iblis, tetapi Allah tidak pernah memaksa Iblis untuk sesat.
Untuk syubhat orang-orang musyrik, para ulama menyatakan bahwa Allah telah mengutus para Rasul untuk tiap-tiap umat. Para Rasul mendapatkan tugas dari Allah untuk memberi peringatan kepada mereka supaya mereka hanya beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut. Para Rasul menunjukkan kepada mereka jalan menuju keridhaan Allah. Selanjutnya, terserah kepada mereka apakah mereka mau menempuhinya atau tidak.
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِراً وَإِمَّا كَفُوراً
"Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al-Insân: 3)
Kesimpulannya, Allah tidak pernah menghendaki (baca: ridha) dengan kekafiran dan kemaksiatan yang telah mereka pilih sendiri. Hanya saja Allah membiarkan itu terjadi untuk hikmah yang banyak.
Allah tidak pernah menghendaki (baca: ridha) dengan kekafiran dan kemaksiatan yang telah mereka pilih sendiri.
Hanya Saat Ditimpa Musibah
Ujaran ‘sudah suratan takdir’ hanya boleh diucapkan saat kita ditimpa musibah. Dengan mengucapkannya saat itu, musibah berat yang menimpa akan terasa lebih ringan. Dengan meyakininya menghadirkan kesabaran pun lebih mudah.
Ini seperti yang dikatakan oleh Nabi Adam ‘alaihis salaam -sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari- saat Nabi Musa ‘‘alaihis salaam mengajukan penyesalannya atas kenyataan Nabi Adam dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi. Nabi Adam pun menjawabnya dengan menyatakan bahwa kenyataan pahit itu, musibah itu, sudah ditulis oleh Allah jauh sebelum beliau diciptakan.
Demikianlah, atas musibah yang terjadi kita mesti menyadarkannya kepada Allah dan bersabar atasnya. Sementara atas dosa-dosa yang pernah kita lakukan, kita mesti bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah. Wallahu al Muwaffiq!!.
No comments
Post a Comment