Bentuk dasar darinya adalah wasala, yasilu, wasilatan. Sementara tawasul menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sedikitnya mempunyai dua kesimpulan yaitu: (1) Mengerjakan suatu amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, dan (2) Memohon atau berdoa kepada Allah dengan perantaraan nama seseorang yang dianggap suci dan dekat kepada Tuhan
Tawasul
Kata tawasul disadur dari bahasa Arab. Bentuk dasar darinya adalah wasala, yasilu, wasilatan. Sementara tawasul menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sedikitnya mempunyai dua kesimpulan yaitu: (1) Mengerjakan suatu amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, dan (2) Memohon atau berdoa kepada Allah dengan perantaraan nama seseorang yang dianggap suci dan dekat kepada Tuhan
Dalam realita kehidupan, banyak cara yang dilakukan oleh manusia yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bentuknya bisa dengan mengerjakan ibadah-ibadah mahdoh (seperti shalat, puasa, haji dan lainnya), namun adapula dengan mengerjakan ibadah ghairo mahdoh (shalat sunnah, puasa senin-kamis, shadakoh dan lainnya). Upaya ini dilakukan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Dzat yang telah menciptakan alam semesta ini.
Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara-cara yang benar menurut syariat merupakan kewajiban setiap manusia. Karena manakala seseorang mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka Allah pun akan pula dekat dengannya. Tetapi sebaliknya, jika seorang hamba menjauhiNya, Allah pun akan sangat jauh kepadanya. Kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya jelas akan membawa perubahan hidup ke arah yang lebih baik, dan jauhnya seseorang dengan Tuhannya akan menyebabkan kebinasaan, kesensaraan dan kesesatan.
Para anbiya adalah sosok yang paling dekat dengat Allah, disamping sebagai utusanNya dalam menyebarkan ajaran-ajaran kebenaran, mereka juga secara sadar selalu menjaga kedekatan mereka kepada Allah SWT, karena dengan cara ini bimbingan Allah SWT akan selalu menyertainya dalam mengemban tugas-tugas. Setelah masa para nabi berakhir dengan ditutup dan disempurnakan oleh kenabian Muhammad SAW, kini para ulama yang meneruskan sunah dan tradisi para nabi. Para ulamalah pewaris nabi yang denganya ajaran-ajaran kebenaran nabi tetap terjaga.
Kebutuhan manusia terhadap sosok ulama sangatlah tinggi, baik ketika ulama tersebut masih hidup ataupun sesudah meninggal. Ulama dengan segala karomah yang dimilikinya bisa menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kemungkaran. Mereka sangat takut kepada Allah melebihi takut mereka kepada hamba. Mereka mempunyai mata batin yang sangat tajam dan dapat mengetahui hal-hal diluar jangkauan manusia biasa. Kelebihan-kelebihan itulah yang tidak ditemukan pada manusia biasa.
Para ulama mengimitasi para anbiya. Mereka sangat suci dan selalu menebar keberkahan dimana pun mereka berada. Pada masa hidup mereka ataupun setelah tiada. Keberkahan para ulama tidak putus seiring dengan wafatnya, tetapi masih terus sampai hari kebangkitan. Jasad mereka meninggal dan dikuburkan, tetapi keberkahan mereka akan senatiasa berlaku selamanya. Para ulama bersepakat bahwa para ulama tidak meninggal, mereka hanya pindah dari tempat nyata kepada tempat ghaib. Lihat saja sejarah syeh Abdul Kodir Al-Jaelani, sekalipun beliau sudah wafat tetapi banyak pengikut beliau yang masih mendapat pertolongan beliau.
Maka wajar bila orang-orang banyak yang mendatangi makam-makam para orang shaleh tersebut dimana pun berada, di bukit, gunung ataupun pinggir pantai makam para ulama tidak pernah sepi dari pengunjung (penziarah). Mereka meyakini bahwa keberkahan para ulama tidak putus dengan meninggalnya jasad mereka, Oleh karenanya mereka tetap memohon dengan keberkahan mereka. Berdoa dengan perantara orang-orang shaleh sangatlah mustajab dan sangat cepat terkabul. Kesucian dan kedekatan mereka kepada Allah SWT menjadikan doa-doa akan diterima.
Model doa dengan perantara ini ternyata sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Para kafir Quraish menjadikan patung-patung sebagai sarana untuk mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Sekalipun salah, tetapi inilah realita bahwa berdoa dengan perantara itu ada. Dalam hal ini, penulis akan mengutip firman Allah SWT yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya….(Al-maa-Idah: 35). Juga firman-Nya: "Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). (Al-Isra': 57)
Yang perlu diingat, dalam tawasul, kita tidak meminta kepada mereka para anbiya maupun ulama, akan tetapi kita menjadikan mereka perantara akan diterimanya doa-doa kita oleh Allah SWT. Oleh karena itu, tata caranya pun diatur sedemikian rupa. Adapun lafadz (shighoh) yang digunakan dalam tawasul adalah: bi haqi, bi jahi, bi barokati, bi karomati dan lainnya. Dengan mengunakan shigoh-sighoh ini, kita akan terhindar dari meminta kepada selain Allah.
Selain dalil-dalil Al-Quran, hadis-hadis nabi pun banyak yang mengupas detail sekitar kebolehan ber-tawasul dengan para anbiya, aulia, dan orang-orang shaleh dalam setiap hajat dan untuk memperoleh karomah. Dalam satu riwayat diceritakan bahwa dizaman pemerintahan khalifah Umar bin Khattab pernah terjadi kekeringan yang sangat hebat.
Para sahabat sudah melakukan segala upaya agar musibah ini cepat berakhir, tetapi usaha itu selalu gagal hingga pada suatu hari sahabat Bilal bin haris mendatangi kuburan nabi saw dan berdoa dengan perantara nabi, maka setelah itu turunlah hujan dan kekeringan pun berakhir.
Demikianlah sekilas tentang masalah tawasul, dan masih banyak lagi hujjah-hujjah yang ditulis para ulama tentang kebolehan ber-tawasul. Sedianya ini akan menambah keyakinan kita untuk melakukannya dimana kita sedang mendapat kebutuhan ataupun untuk mendapat karomah para aulia Allah. Wawllahu A'lam.
No comments
Post a Comment