Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Ada beberapa orang yang sangat semangat
mengisi Ramadhan sampai-sampai ia melarang untuk melakukan hubungan
suami istri pada malam harinya. Ia pun memberi fatwa dan anjuran untuk
tidak melakukan jima' dengan istri agar bisa lebih maksimal dalam
menjalankan kebaikan di bulan yang mulia. Bagaimana sebenarnya kedudukan
jima' (hubungan suami istri) di malam Ramadhan? Bagaimana pula hukum
orang yang melarangnya karena untuk memaksimalkan ibadah di malam-malam
tersebut?
Sesungguhnya melakukan jima' (hubungan
suami istri) di malam-malam Ramadhan adalah mubah sebagaimana makan dan
minum. Hal itu didasarkan pada keterangan yang sangat jelas dari
Al-Qur'an dan kesepakan kaum muslimin. Allah 'Azza wa Jalla telah berfirman:
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ
لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ
تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ
بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ
"Dihalalkan bagi kamu pada malam
hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah
pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah
mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu . . ." (QS. Al-Baqarah: 187)
Al-Jashshah berkata, "Maka Allah
membolehkan jima', makan, dan minum pada malam-malam puasa dari sejak
awal malam sampai terbit fajar."
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah
berkata: Ini adalah rukhshah dari Allah Ta'ala bagi kaum muslimin. Dan
Allah mengangkat hukum yang berlaku di awal Islam., yang apabila salah
seorang mereka sudah berbuka maka halal baginya makan, minum, dan jima'
sampai shalat isya' atau tidur sebelum itu. Maka kapan ia telah tertidur
atau shalat Isya' diharamkan atasnya makan minum, dan jima' sampai
malam berikutnya. Merekapun mendapi hal itu sangat berat. Dan rafats di
sini adalah: al-Jima', (seperti) yang dikatakan Ibnu 'Abbas, 'Atha',
Mujahid, Sa'id bin Jubair, Thawus, Salim bin Abdillah, Amru bin Dinar,
al-Hasan, Qatadah, al-Zuhri, al-Dhahak, Ibrahim al-Nakha'I, al-Sudi,
Atha' al-Khurasani, dan Muqatil bin Hayyan. . ." (Selesai dari perkataan
beliau)
. . . melakukan jima' (hubungan suami istri) di malam-malam Ramadhan adalah mubah sebagaimana makan dan minum. . .
Maka jika orang tersebut meyakini
haramnya jima' pada malam-malam puasa dan menfatwakan hal itu, maka ia
dalam bahaya besar karena menyelisihi Sharihul Qur'an (ketarangan Al-Qur'an yang sangat jelas). Ia harus bertaubat kepada Allah Ta'ala dengan taubatan nasuha
karena telah melarang sesuatu yang dihalalkan. Jika larangan jima' yang
dia keluarkan dalam rangka mencari yang lebih baik dan lebih utama; --
lebih baik orang-orang menyibukkan diri dengan ibadah dan macam-macam
amal ketaatan pada bulan ini dan tidak larut dalam syahwat-syahwat ini
--, maka urusannya lebih ringan. Tetapi, tidak lantas dia benar seratus
persen, dia tetap salah. Karena berjima' pada malam-malam puasa adalah
dibolehkan. Tidaklah orang tersebut lebih wara' (menjaga diri dari yang
haram) dari pada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para
sahabatnya. Tidak pernah didapatkan satu keterangan dari mereka yang
melarang hal itu, kecuali siapa yang beri'tikaf pada sepuluh hari
terakhir di bulan Ramadhan. Maka ia tidak boleh mendekati istrinya
sebagaimana yang sudah maklum. Dan dalam hadits diterangkan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ
أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
"Adalah Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasallam, apabila sudah masuk pada sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadhan, maka beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya,
dan mengencangkan tali ikat pinggangnya." (Muttafaq 'Alaih dari 'Asiyah Radhiyallahu 'Anha)
Imam al-Syaukani rahimahullah menerangkan, "Perkataannya: Dan Syadda Mi'zarahu (mengencangkan tali ikat pinggangnya), maknanya menjauhi istri-istrinya."
Boleh jadi menggauli istri pada
malam-malam puasa terdapat maslahat yang lebih, yaitu kalau disertai
niat yang baik sebagai bentuk qurbah dan tha'ah. Karena hal itu bisa
membantu seseorang untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya.
Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman, "Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu . . ." (QS. Al-Baqarah: 187)
Syaikh al-Sa'di rahimahullah
berkata, "(Maka sekarang) sesudah adanya rukhshah dan kelapangan dari
Allah ini, (campurilah mereka) dengan bersetubuh, ciuman, dan belaian,
serta yang lainnya. (Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu) maksudnya: niatkan dalam menggauli istri-istrimu itu sebagai
taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta'ala. Dan tujuan utama dari
berjima' terebut adalah untuk mendapatkan keturunan, menjaga kehormatan
farjinya dan farji istrinya, dan mendapatkan tujuan-tujuan pernikahan."
. . . Boleh jadi menggauli istri pada malam-malam puasa terdapat maslahat yang lebih, yaitu kalau disertai niat yang baik sebagai bentuk qurbah dan tha'ah. Karena hal itu bisa membantu seseorang untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya. . .
Adapun jika tujuannya meninggalkan jima'
dengan istrinya pada malam-malam puasa tidak membahyakan dirinya, maka
tidak mengapa (tidak berdosa), karena ia meninggalkan hal yang mubah.
Dan ini tetap tidak apa-apa (tidak ada dosa) kecuali jika hal itu
menyiksa istri karena tak terpenuhi kebutuhan batinnya. Maka ia tidak
boleh menyakiti dan menyiksa istrinya dengan keputusannya tersebut.
Bahkan, termasuk kewajiban para suami adalah menjaga 'iffah (kesucian)
istrinya dan memenuhi kebutuhan batinnya sesuai dengan kemampuan suami
dan kebutuhan istri. Maka masih berlakukah pendapat yang melarang jima'
di malam Ramadhan sesudah jelas izin Allah bagi para hamba-Nya? Wallahu
Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]
No comments
Post a Comment