
Pesantren dan Simbol Damai Islam
Oleh : Nafi’ Muthohirin
Pasca kejatuhan Soeharto, publik dipertontonkan dengan berbagai aksi kekerasan agama seperti di Ambon (1999), Poso (1998), dan Kalimantan Timur (1999). Simbol-simbol keagamaan seperti masjid dan gereja menjadi penggerak bagi massivitas kekuatan massa. Teriakan-teriakan Allahu Akbar dari pengeras suara masjid pun kerap terdengar sebagai pemompa semangat untuk “berperang”. Hal ini menimbulkan keganjilan apa benar yang demikian ini disebut sebagai doktrin ‘Jihad’ dalam Islam. Sementara yang menjadi sasaran adalah saudara sendiri, meski bukan sesama agama melainkan masih satu rumpun dari agama tauhid.
Jika ditelisik lebih mendalam, akar masalah berbagai pertikaian ini bermula dari persoalan etnis, namun tak bisa dipungkiri bahwa agama juga menjadi faktor pendorong meledaknya kekerasan yang lebih besar. Di awal tahun 2000-an, gerakan radikalisme agama juga diperlihatkan pada peristiwa penyerangan umat Kristiani di Halmahera Utara oleh kelompok yang menamakan dirinya sebagai pasukan Jihad Islam (Jihad Force). Kekerasan berbau agama ini bukan hanya melibatkan puluhan atau ratusan orang saja, akan tetapi ribuan masyarakat yang berdatangan dari segala penjuru Nusantara turut memenuhi komando jihad tersebut. Cris Wilson dalam bukunya, Ethno-Religious Conflict in Indonesia menceritakan, konflik antara umat Kristiani dan Muslim di Maluku Utara merupakan bagian dari pertarungan antara pasukan Putih-Kuning yang melibatkan ribuan massa (2008).
Fenomena kekerasan berlatar agama senantiasa tidak hanya berhenti sampai disini. Perjalanan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang demokratis dan memenuhi tuntutan reformasi kian terhalang oleh tindakan sebagian masyarakat yang tidak menghendaki Republik menjadi negara Pancasila. Dengan segala cara, bahkan dengan membunuhpun akan dilakukannya demi meruntuhkan keberadaan Negara yang menurut pandangan mereka dianggap sebagai berhala (thaguth).
Gerakan radikalisme agama kembali mencuat tatkala hancurnya dua symbol kekuasaan Amerika, Penthagon dan World Trade Center (WTC) hancur lebur oleh aksi pesawat teroris (meski banyak yang mempersoalkannya). Tak ayal, bila “kemarahan” AS menyulut permusuhan dengan kalangan “Islamis”. Ramalan Samuel P. Huntington pun seolah menemukan momentumnya. Benturan peradaban (the class of civilization) antara Timur dan Barat kian terlihat.
Di Indonesia, yang mayoritas Islam penduduknya menjadi ladang yang empuk bagi serangan-serangan kelompok radikal islam. Aksi ekstrim bom bunuh diri di Legian, Bali I (2002), bom Kuningan, Jakarta (2004), bom Bali II (2005), bom Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot, Jakarta (2009), serta teror bom buku di beberapa tempat di Jakarta (2011) adalah beberap misal yang sulit untuk ditolak bahwa memang beturan dua kekuatan besar itu ada. Sementara yang paling baru adalah meledaknya bom rakitan di Pesantren Umar Bin Khattab di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Strategi pergerakan kelompok teroris saat ini nyatanya telah memasuki pusat-pusat pembibitan pendidikan generasi Islam mendatang. Pesantren ataupun masjid sekalipun telah (sedang) menjadi basis tumbuhnya bersemainya kelompok radikal/teroris. Secara perlahan tapi pasti indoktrinasi yang mereka galakkan masuk ke materi-materi pelajaran pesantren yang notabene merupakan karakter khas model pembelajaran islam di Indonesia.
Terlepas dari maraknya berbagai aksi kekerasan agama yang terjadi baik di masa lalu maupun saat ini. Doktrin agama tak pernah mengajarkan dan membenarkan tindakan-tindakan kekerasan apalagi sampai melibatkan pesantren untuk dijadikan pusat penggemblengan melawan agama dan negara. Pesantren merupakan symbol perdamaian Islam, dimana batas-batas keberbedaan baik kultur mapun identitas tersemai damai dalam satu bingkai memahami keragaman.
Melihat fenomena dinamika perubahan pesantren saat ini, maka diperlukan langkah-langkah strategis. Pertama, kebijakan makro nasional, regional dan global. Perlunya rekonstruksi instrumen hukum yang adil, fair dan transparan atas tindakan kekerasan, khususnya menyangkut kelompok masif agama. Tekanan global atas gerakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok jaringan Muslim hendaknya tidak menyudutkan masyarakat Muslim secara luas. Tentu saja, dibutuhkan upaya kerjasama secara langsung antara lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lembaga internasional. Kedua, perlunya pendidikan alternatif bagi pelajar-pelajar dan komunitas pesantren dalam mengembangkan nilai-nilai pluralitas. Dan ketiga, penguatan terhadap kualitas kurikulum dan sistim pendidikan sangat dibutuhkan oleh pesantren, yang dalam jangka panjang akan meredam pengaruh negatif bangkitnya gerakan-gerakan militan Islam.
Perlu diperhatikan bahwa radikalisme tidak tumbuh karena pendidikan di pesantren atau karena eksistensi alumni Timur Tengah. Pendidikan Islam, seliteral apapun tidak akan mempengaruhi orang untuk menjadi radikal atau terlibat dalam jaringan kelompok Islam militan, apalagi ikut dalam pemboman atas nama Islam. Sejak abad 15, jaringan Ulama Nusantara dan Timur Tengah melahirkan ulama, aktifis sosial dan intelektual. Dan tidak ada yang terlibat dalam gerakan Islam radikal, hingga abad 20. Mereka yang terlibat lebih banyak dipengaruhi pengalaman politik atau kekecewaan terhadap kinerja ormas Islam. Mereka sebagian juga terinspirasi oleh kebijakan Amerika Serikat dan sebagian negara Barat yang memiliki pola kebijakan yang mereka klaim merugikan umat Islam. Antara lain kebijakan yang tidak seimbang antara Palestina dan Israel. Pemihakan yang berlebihan terhadap Israel sangat mengecewakan mereka. Di Indonesia, tumbuhnya gerakan radikal dan milisi Islam juga dipicu oleh timbulnya konflik di Maluku dan Poso sejak awal tahun 1999.
Agama senantiasa membimbing umatnya ke jalan yang penuh rahmat dan menghadirkan perdamaian bagi seluruh alam. Teladan yang dicontohkan Nabi Muhammad saw dalam Piagam Madinah adalah bukti bagaimana keberagaman agama, suku, etnis, dan budaya bisa hadir bersama dan menciptakan harmonisasi satu sama lainnya. Begitupun dengan ajaran agama yang menuntut pemeluknya untuk mentaati pemimpin dan mencintai tanah airnya.
* Mahasiswa Pascasarjana (SPs) UIN Syarifhidayatullah Jakarta.
No comments
Post a Comment