Mau'idzah: Mensyukuri Ramadlan dengan Puasa Syawal

Segala Puji Bagi Allah, Dzat yang senantiasa menganugerahkan nikmat-nikmat-Nya. Shalawat dan Salam untuk Nabi dan utusan Allah, beserta ke... thumbnail 1 summary

Segala Puji Bagi Allah, Dzat yang senantiasa menganugerahkan nikmat-nikmat-Nya. Shalawat dan Salam untuk Nabi dan utusan Allah, beserta keluarga, dan para sahabatnya.

Saudaraku, seorang muslim dituntut untuk senantiasa taat dan bersemangat untuk mentazkiyah (menyucikan) jiwanya.

Untuk tujuan tazkiyah ini disyariatkan macam-macam ibadah dan ketaatan. Seberapa ibadah yang dilakukan seseorang segitu pula dia menyucian jiwanya. Dan ketika jauh dari ibadah maka dia jauh pula dari kesucian diri.

Oleh karenanya, ahli ketaatan paling lembut hatinya dan paling banyak berbuat baik. Sebaliknya ahli maksiat paling keras hatinya dan banyak membuat kerusakan.

Puasa adalah bagian dari ibadah-ibadah tersebut yang mampu membersihkan hati dari kotoran-kotorannya dan menyembuhkan hati dari berbagai penyakitnya. Oleh karena itu, bulan Ramadlan adalah musim untuk mengulang, dan hari-harinya untuk membersihkan hati.

Itulah faidah yang berharga yang akan dipetik oleh seorang shaim (orang yang berpuasa), agar ketika ia selesai berpuasa, hadir dengan hati yang baru dan kondisi yang lain.

Puasa enam hari di bulan Syawal, setelah puasa Ramadlan, adalah kesempatan yang mahal, karena orang yang berpuasa ini berpindah kepada ibadah yang lain sesudah rampung dari puasa Ramadlan.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberitahukan kepada umatnya tentang keutamaan puasa enam hari di bulan Syawal dan menganjurkan mereka untuk melaksanakannya dengan bahasa yang memarik untuk berpuasa di hari-hari ini.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan syawal, dia seperti berpuasa setahun penuh." (HR. Muslim dan lainnya).

"Siapa yang berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan syawal, dia seperti berpuasa setahun penuh." (HR. Muslim dan lainnya).

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, "Para ulama menjelaskan maksud seperti berpuasa setahun penuh, karena satu kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali lipat. Ramadlan senilai sepuluh bulan, sedangkan enam hari senilai dua bulan."

Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah menukil dari Ibnul Mubarak: "dikatakan, berpuasa enam hari di bulan syawal yang bersambung dengan puasa Ramadlan adalah satu keutamaan yang sama, oleh karenanya baginya pahala puasa setahun penuh."

Saudaraku, puasa enam hari sesudah Ramadlan adalah bentuk syukur seorang shaim kepada Rabbnya karena telah memberinya taufiq untuk berpuasa Ramadlan dan meningkatkan amal kebaikan. Puasa ini juga menjadi bukti kecintaannya kepada ketaatan dan kegemaran untuk menyambung amal-amal shalih.

Ibnu Rajab rahimahullah juga berkata: "menyikapi nikmat taufiq untuk berpuasa di bulan Ramadlan dengan melakukan kemaksiatan sesudahnya, termasuk di antara perbuatan orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekufuran."

"Menyikapi nikmat taufiq untuk berpuasa di bulan Ramadlan dengan melakukan kemaksiatan sesudahnya, termasuk di antara perbuatan orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekufuran."

Saudaraku, ketaatan tidak memiliki musim tertentu, yang kemudian, jika berlalu musimnya, orang kembali melakukan maksiat.

Bahkan musim ketaatan berlanjut sepanjang hidup hamba, tidak mengenal selesai sehingga ia masuk liang lahat.

Dikatakan kepada Bisyr al-Haafi rahimahullah: "suatu kaum beribadah dan bersungguh-sungguh pada bulan Ramadlan, lalu beliau berkata: 'seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal hak Allah kecuali pada bulan Ramadlan. Sesungguhnya orang shalih itu beribadah dan bersungguh-sungguh sepanjang tahun)'."

Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal hak Allah kecuali pada bulan Ramadlan. Sesungguhnya orang shalih itu beribadah dan bersungguh-sungguh sepanjang tahun)'.

Saudaraku, menyambung puasa Ramadlan dengan enam hari di bulan Syawal memiliki banyak faidah. Dan barakahnya akan diperoleh oleh para shaimun. Berikut ini beberapa faidah yang disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah:

1. Puasa enam hari di bulan syawal sesudah Ramadlan melengkapi pahala puasa setahun penuh.

2. Sesungguhnya puasa di bulan Syawal dan Sya'ban seperti shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardlu. Shalat sunnah tersebut menyempurnakan shalat fardlu yang mengalami kesalahan dan kekurangan. Karena amal-amal fardlu disempurnakan dengan amal sunnah pada hari kiamat. Dan mayoritas orang, puasa fardlunya mengalami kekurangan dan kesalahan, makanya ia membutuhkan amal-amal yang melengkapinya.

3. Membiasakan puasa sesudah puasa Ramadlan menjadi tanda diterimanya puasa Ramadlan. Karena ketika Allah subhanahu wa Ta'ala menerima ibadah hamba, Dia memberikan taufiq padanya untuk menjalankan amal shalih sesudahnya, sebagiamana yang dikatakan sebagaian orang: "pahala amal kebaikan adalah amal kebaikan sesudahnya. Siapa yang beramal kebaikan kemudian mengikutinya dengan kebaikan yang lain sesudahnya merupakan tanda diterimanya amal kebaikan yang pertama. Sebagaimana orang yang melakukan amal kebaikan kemudian mengikutinya dengan keburukan menjadi tanda ditolaknya amal baik tersebut dan tidak diterima."

4. Puasa Ramadlan menghapuskan dosa yang telah lalu. Para shaimun disempurnakan pahalanya pada hari Iedul Fitri, hari bebas, maka kembali berpuasa sesudah hari fitri bentuk rasa syukur akan nikmat ini, tiada nikmat yang lebih besar dari pada ampunan dosa.

Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika shalat, beliau berdiri hingga bengkak kedua kakinya. A'isyah radliyallah 'anha berkata: "Ya Rasulallah, engkau masih melakukan ini, padahal Allah sudah mengampuni dosa engkau yang telah lalu dan akan datang?" Beliau menjawab: يَا عَائِشَةُ ! أَفَلاَ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا "Ya Aisyah, tidak bolehkah aku menjadi hamba Allah yang bersyukur." (HR. Muslim).

Maka kembali berpuasa sesudah hari fitri bentuk rasa syukur akan nikmat ini.

Tiada nikmat yang lebih besar dari pada ampunan dosa.

Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk selalu mensyukuri puasa Ramadlan dengan menampakkan dzikir pada-Nya, dan bentuk syukur lainnya, Allah berfirman:

وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185)

Di antara bentuk syukur hamba kepada Tuhannya atas taufiq dan pertolongan yang diberikan-Nya sehingga dia bisa berpuasa Ramadlan serta ampunan atas dosa-dosanya, dia berpuasa sesudah itu.

Sebagian ulama salaf jika bisa melaksanakan qiyamullail (shalat malam), maka di pagi harinya ia berpuasa sebagai bentuk syukur atas taufiq Allah bisa melaksanakan qiyamullail.

Sebagian ulama salaf jika bisa melaksanakan qiyamullail (shalat malam), maka di pagi harinya ia berpuasa sebagai bentuk syukur atas taufiq Allah bisa melaksanakan qiyamullail.

Wuhaib ibnul Warad ditanya tentang pahala amal shalih seperti thawaf dan lainnya. Beliau menjawab: "janganlah engkau bertanya tentang pahalanya, tetapi tanyalah bagaimana bersyukur kepada Dzat yang telah memberikan taufiq dan pertolongan untuk melakukan amal shalih ini."

Setiap nikmat, baik dien maupun dunia, dari Allah untuk hamba-Nya, menuntut disyukuri. Kemudian taufiq bisa mensyukuri nikmat merupakan nikmat yang lain yang juga menuntut disyukuri. Kemudian nikmat taufiq bisa mensyukuri yang kedua adalah nikmat yang lain yang juga menuntut disyukuri. Begitulah seterusnya sehingga hamba tidak mampu untuk bersyukur kepada seluruh nikmat-nikmat Allah. Dan hakikat syukur adalah pengakuan diri tidak mampu bersyukur.

Dan hakikat syukur adalah pengakuan diri tidak mampu bersyukur.

Amal-amal yang dijalankan hamba untuk bertaqarrub kepada tuhannya pada bulan Ramadlan tidak terputus dengan selesainya Ramadlan, tapi tetap berlaku sesudah Ramadlan, selama dia masih hidup.

Amal ibadah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selalu kontinyu. Aisyah radliyallah 'anha pernah ditanya, "apakah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menghususkan hari-hari tertentu (untuk beramal)?" Beliau menjawab: "Tidak, amal ibadah beliau kontinyu."

Beliau berkata lagi, "Nabi tidak menambah dari 11 rakaat pada bulan Ramadlan dan selainnya." Sering Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengganti wirid yang ditinggalkannya pada bulan Ramadlan di bulan Syawal.

Pada satu tahun beliau shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkan i'tikaf di akhir bulan Ramadlan, kemudian beliau menggantinya di awal Ramadlan."

Fatwa seputar Puasa enam hari di bulan Syawal

• Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah pernah ditanya: "bolehkah kita berpuasa enam hari di bulan Syawal sebelum mengqqadla' hutang puasa Ramadlan?"

Beliau menjawab: "para ulama berbeda pendapat dalam masalah itu. Yang benar didahulukan puasa qadla' atas puasa enam hari dan puasa sunnah lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "siapa yang berpuasa Ramadlan lalu diikuti puasa enam hari di bulan Syawal, ia seperti berpuasa setahun penuh" (HR. Muslim dalam shahih-nya).

Siapa yang mendahulukan puasa enam hari atas puasa qadla' berarti dia tidak mengikutikan puasanya dengan Ramadlan, namun dengan sebagian Ramadlan. Karena qadla' puasa adalah fardlu sedangkan puasa enam hari adalah sunnah. Dan amal fadlu lebih diutamakan atas yang sunnah." (Majmu' Fatawa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz: 5?273)

• Lajnah Daimah ditanya, "apakah puasa enam hari pasca Ramadlan harus langsung sesudah hari Iedul Fitri?, Atau bolehkah dilaksanakan beberapa hari di bulan syawal sesudah hari Ied tanpa berurutan?

Jawab: "tidak harus langsung sesudah Iedul Fitri. Tapi boleh dia memulainya selang sehari atau beberapa hari sesudah Ied, dengan berurutan atau terputus-putus pada bulan syawal sesuai kemampuannya. Masalah ini sangat longgar. Tidak wajib tapi sunnah." (Fatawa Lajnah Daimah: 10/391 no. 3475).

• Yang Mulia Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah pernah ditanya: "aku memulai puasa enam hari di bulan syawal, tapi aku tak mampu menyempurnakannya karena beberapa kesibukan dan pekerjaan, masih ada dua hari lagi, apa yang harus ku lakukan Ya Syaikh? Apa saya harus menggantinya? Dan apakah saya berdosa?"

Jawab: "Puasa enam hari di bulan Syawal merupakan ibadah yang dianjurkan, tidak wajib. Engkau mendapatkan pahala dari puasa yang telah engkau jalankan, semoga saja engkau mendapatkan pahalanya secara penuh jika penghalangnya adalah sebab syar'i, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيْحاً مُقِيْماً

"Jika seorang hamba sakit atau bersafar, Allah pasti mencatat untuknya pahala amal yang biasa dilaksanakannya di waktu sehat dan muqim (tidak safar)." (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya). Tidak ada kewajiban qadla' atasmu dari puasa yang engkau tinggalkan. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya." (Majmu' Fatawa Samahah Syaikh Abdul Aziz bin Bazz: 5/270).

"Jika seorang hamba sakit atau bersafar, Allah pasti mencatat untuknya pahala amal yang biasa dilaksanakannya di waktu sehat dan muqim (tidak safar)." (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya).

Saudaraku, tadi adalah fatwa-fatwa yang berkaitan dengan puasa enam hari di Bulan Syawal. Bagi seorang muslim hendaknya selalu menambah amal-amal shalihnya yang mendekatkan dirinya kepada Allah Ta'ala, yang dengannya seorang hamba akan meraih ridla-Nya. Sebagaimana yang sudah dijelaskan kepada anda dari perkataan Ibnu Rajab tentang sebagian faidah yang kan diunduh seorang muslim dari puasa enam hari di bulan Syawal. Dan tabiat seorang muslim, ia senantiasa semangat untuk mendapatkan hal yang berguna untuk dien (agama) dan dunianya.

Kesempatan ini berlalu begitu cepat, bagi seorang muslim harus benar-benar memperhatikannya agar mendapatkan pahala yang banyak. Hendaknya dia senantiasa memohon kepada Allah agar memberinya taufiq untuk bisa taat kepada-Nya.

Allahlah pelindung orang yang senantiasa meminta tolong kepada-Nya dan berpegang teguh dengan dien-Nya…

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.

No comments

Post a Comment