Kata pesantren sendiri berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri.
Kata pesantren sendiri berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Profesor Zamakhsari berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji. Sedangkan menurut istilah yang berkembang di semua kalangan pesantren adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama Islam.
Pesantren merupakan produk asli Indonesia hasil kaloborasi dengan budaya setempat yang diwarnai oleh agama Hindu dan Budha. Pesantren pertama kali muncul di Indonesia pada sekitar awal abad ke 15. Pelopor pendirian pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gresik. Beliau pertama kali menginjakan kaki di pulau Jawa tepatnya di daerah Gresik pada tahun 1404 M dan memulai hidupnya di tanah Jawa dengan membuka warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari.
Kebaikan budi serta kedermawanan Maulana Malik Ibrahim membuat penduduk setempat bersimpati kepadanya. Mereka mulai bertanya tentang Islam, agama yang dianut oleh Maulana Malik Ibrahim. Semakin hari para muallaf Jawa semakin banyak mengunjungi kediaman Sunan Gresik, beliau pun mengambil inisiatif untuk membuat padepokan tempat belajar dan mengajar ilmu agama Islam. Padepokan yang diadopsi dari sistim pengajaran umat Hindu dan Budha tersebut pada akhirnya disebut sebagai pesantren.
Putra pertama Sunan Gresik, Raden Rahmat atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Ampel kemudian mendirikan pesantren di Ampel Denta, pesisir Surabaya. Kemudian muncul pesantren di desa Sidomukti yang diasuh oleh murid Sunan Ampel yaitu Sunan Giri dan akhirnya bermunculan banyak pesantren yang dipimpin oleh alumnus pesantren Sunan Ampel.
Semua pesantren yang berdiri pada masa-masa awal penyebaran Islam hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti: fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Hal itu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat.
Pesantren terdahulu juga identik dengan kesederhanaannya, baik dari segi fasilitas maupun manajemennya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu tercermin dari tidak adanya bayaran wajib yang harus dibayar oleh santri kepada pemimpin pesantren. Mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.
Lama pendidikan di pesantren zaman dulu tidak ditentukan. Seorang santri boleh belajar sampai dia merasa cukup dengan ilmu yang didapatkan dari Kiyai. Oleh karena itu ada banyak santri yang belajar hampir seumur hidup di pesantren. Bisa juga ditemukan beberapa kasus, seorang santri keluar dari pesantren karena sudah dianggap layak menjadi alumnus oleh Kiyai.
Seiring perkembangan zaman, pesantren di Indonesia ikut berkembang. Dipelopori oleh pesantren Darussalam yang berlokasi di desa Gontor Ponorogo, pesantren mulai memasukan pelajaran umum ke dalam kurikulumnya. Bahkan Gontor berani memasukan bahasa Inggris sebagai materi pokok yang harus dipelajari santri. Dengan eksistensi Gontor sebagai model pesantren yang baru maka pesantren pun diklasifikasikan ke dalam dua macam; Pesantren Salaf yang mengadopsi kurikulum pesantren Sunan Ampel dan Pesantren Modern yang mengadopsi kurikulum Gontor.
Dewasa ini, pesantren modern menjadi primadona bagi orang tua yang menginginkan anaknya memiliki kemampuan agama sekaligus pengetahuan umum. Hal ini dikarenakan sudah banyak alumni pesantren modern yang bisa meneruskan sekolah ke perguruan tinggi negri bahkan diantara mereka ada yang meneruskan study di luar negeri. Faktor lain yang menjadikan pesantren modern sebagai pilihan adalah kedinamisan system pendidikannya. Pesantren modern selalu mengakses teknologi baru untuk menunjang program belajar mengajar santri.
Pesantren
Kata pesantren sendiri berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Profesor Zamakhsari berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji. Sedangkan menurut istilah yang berkembang di semua kalangan pesantren adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama Islam.
Pesantren merupakan produk asli Indonesia hasil kaloborasi dengan budaya setempat yang diwarnai oleh agama Hindu dan Budha. Pesantren pertama kali muncul di Indonesia pada sekitar awal abad ke 15. Pelopor pendirian pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gresik. Beliau pertama kali menginjakan kaki di pulau Jawa tepatnya di daerah Gresik pada tahun 1404 M dan memulai hidupnya di tanah Jawa dengan membuka warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari.
Kebaikan budi serta kedermawanan Maulana Malik Ibrahim membuat penduduk setempat bersimpati kepadanya. Mereka mulai bertanya tentang Islam, agama yang dianut oleh Maulana Malik Ibrahim. Semakin hari para muallaf Jawa semakin banyak mengunjungi kediaman Sunan Gresik, beliau pun mengambil inisiatif untuk membuat padepokan tempat belajar dan mengajar ilmu agama Islam. Padepokan yang diadopsi dari sistim pengajaran umat Hindu dan Budha tersebut pada akhirnya disebut sebagai pesantren.
Putra pertama Sunan Gresik, Raden Rahmat atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Ampel kemudian mendirikan pesantren di Ampel Denta, pesisir Surabaya. Kemudian muncul pesantren di desa Sidomukti yang diasuh oleh murid Sunan Ampel yaitu Sunan Giri dan akhirnya bermunculan banyak pesantren yang dipimpin oleh alumnus pesantren Sunan Ampel.
Semua pesantren yang berdiri pada masa-masa awal penyebaran Islam hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti: fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Hal itu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat.
Pesantren terdahulu juga identik dengan kesederhanaannya, baik dari segi fasilitas maupun manajemennya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu tercermin dari tidak adanya bayaran wajib yang harus dibayar oleh santri kepada pemimpin pesantren. Mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.
Lama pendidikan di pesantren zaman dulu tidak ditentukan. Seorang santri boleh belajar sampai dia merasa cukup dengan ilmu yang didapatkan dari Kiyai. Oleh karena itu ada banyak santri yang belajar hampir seumur hidup di pesantren. Bisa juga ditemukan beberapa kasus, seorang santri keluar dari pesantren karena sudah dianggap layak menjadi alumnus oleh Kiyai.
Seiring perkembangan zaman, pesantren di Indonesia ikut berkembang. Dipelopori oleh pesantren Darussalam yang berlokasi di desa Gontor Ponorogo, pesantren mulai memasukan pelajaran umum ke dalam kurikulumnya. Bahkan Gontor berani memasukan bahasa Inggris sebagai materi pokok yang harus dipelajari santri. Dengan eksistensi Gontor sebagai model pesantren yang baru maka pesantren pun diklasifikasikan ke dalam dua macam; Pesantren Salaf yang mengadopsi kurikulum pesantren Sunan Ampel dan Pesantren Modern yang mengadopsi kurikulum Gontor.
Dewasa ini, pesantren modern menjadi primadona bagi orang tua yang menginginkan anaknya memiliki kemampuan agama sekaligus pengetahuan umum. Hal ini dikarenakan sudah banyak alumni pesantren modern yang bisa meneruskan sekolah ke perguruan tinggi negri bahkan diantara mereka ada yang meneruskan study di luar negeri. Faktor lain yang menjadikan pesantren modern sebagai pilihan adalah kedinamisan system pendidikannya. Pesantren modern selalu mengakses teknologi baru untuk menunjang program belajar mengajar santri.
Saya lebih suka istri lulusan pesantren salaf. Karena lebih sederhana, dan apa adanya.
ReplyDeletesepakat dengan Yusuf
ReplyDelete