Di salah satu toko buku terbesar di Indonesia. Muka saya mulai masam. Pikiran mulai keruh. Tas ransel hitam yang sebelumnya melekat di punggung sudah dibedah semua isinya. Dompet hitam yang biasanya lebih sering saya masukkan ke dalam tas dari pada saku celana tidak ketemu. Saya memang memutuskan tidak membeli buku. Namun satu kewajiban yang saya harus tunaikan adalah membayar parkir. Sungguh tidak besar, hanya seribu rupiah. Tapi dalam keadaan saya yang tidak membawa dompet. Uang seribu sama saja dengan semilyar atau bahkan tak hingga bila dikonversikan. Persis seperti teori kebutuhan Moslow.
Saya mencoba merogoh semua sela dari setiap rongga di tas, di celana, dan di baju. Mengawasi dengan seksama lantai mungkin saja ada beberapa receh yang terjatuh. Setelah dikumpulkan semua yang saya berhasil peroleh hanya delapan ratus rupiah. Artinya saya kurang dua ratus rupiah lagi!
Betapa saat itu perasaan tertekan. Seolah saya telah dimainkan oleh uang dua ratus rupiah. Berusaha melakukan hal mulai dari cara masuk akal hingga sama sekali tidak. Singkat cerita pada akhirnya saya berhasil mendapatkan sisa uang itu dengan meminta uang pada seorang wanita yang tengah menunggu jemputan di depan toko buku -yang sama sekali tak saya kenal-.
Begitulah kita. Selama ini kita sering meremehkan semua hal yang kecil yang ada dalam hidup kita. Kita meremehkan keberadaan uang receh seratus, dua ratus, lima ratus rupiah. Kita sering menunda melakukan sesuatu karena meremehkan waktu dalam satuan detik, menit bahkan jam. Sering sekali mengatakan lima menit lagi saja, atau besok saja ku kerjakan, sekarang saya mau begini dulu. Saya tobatnya kalau sudah tua saja, sekarang saya ingin foya-foya dulu. Padahal waktu tidak akan pernah genap menjadi satu jam tanpa adanya satu menit.
Kita baru menyadari, menghargai lalu mensyukuri itu semua, justru ketika itu semua tidak kita miliki, ketika itu semua hilang dari genggaman kita. Sesungguhnya semua itu sudah lama telah kita miliki.
Betapa banyak orang yang lalu lalang tanpa pernah menghentikan siklus dalam hidup kita. Datang dan pergi. Kita tidak pernah tau mana yang lebih dulu. Seperti telur dan ayam. Karena mereka masih ada di sekitar kita. Saat mereka pergi barulah kita sadar betapa kepingan hidup kita hanya tersisa kenangan. Apakah kita cukup hanya hidup dengan kenangan? Seindah apapun kenangan, itu hanya fana. Maka mungkin itulah kenapa ada surga, agar manusia tidak lagi hidup hanya bahagia dalam kenangan. Semua telah abadi. Siklus telah terhenti.
Ribuan puzzle peristiwa yang kadang terbang begitu saja seperti buih pada sabun. Kita tidak pernah sungguh memberikan makna pada semua itu. Saat kita dihadapakan pada badai kehidupan dan harusnya kita belajar dari pengalaman, kita malah seperti keledai dungu yang tak tau apa-apa. Bukankah setiap hal yang diciptakan Allah tidak ada yang percuma. Mungkin saja semua peristiwa kecil dari hidup kita adalah pembelajaran.
Syukur sering tandus karena lalai. Sering kita mengucapkannya hanya sebatas ungkapan. Terkadang kita terangsang bersyukur justru ketika melihat musibah sedang menimpa orang lain.
“Alhamdulillah kita di Indonesia masih bisa makan. Bayangkan saudara-sauadara kita di Somalia harus kelaparan. Perut mereka yang buncit, tapi setiap organ yang lain kering kerontang. Hanya tersisa tulang belulang.”
“Alhamdulillah kita mampu membeli baju dengan harga dengan digit 0 di atas 6, lihatlah mereka dipinggir jalan yang lusuh dan serba compang-camping.”
Semakin dramatis, semakin tulus rasa syukur kita. Pantaskah kita harus mulai bersyukur hanya setelah melihat ketidakberdayaan, penderitaan orang disekitar kita? Pantaskah kita menjadikan kesengsaraan orang lain sebagai komoditas alasan kita bersyukur?
Betapa banyak hal yang bisa diambil dari diri kita sendiri untuk memulai bersyukur. Kalkulasi sendiri, Daftar sendiri, semua ada di ruang dan waktu hidup kita sendiri. Karena nikmat yang kita rasakan adalah tentang relativitas kehendak Allah Sang Pemurah. Takdir.
No comments
Post a Comment