Oleh: Zen Yusuf Al Choudry
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Dalam melakukan ibadah, selain harus memenuhi syarat dan rukun ibadah itu sendiri, seseorang juga harus memperhatikan beberapa hal yang menjadi syarat atau penentu diterimanya ibadah itu. Setidaknya, ada dua syarat atau penentu diterimanya suatu ibadah. Pertama, dikerjakan dengan ikhlas. Kedua, dikerjakan dengan benar.
Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, "Amal ibadah itu jika dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar, tidak akan diterima. Dan apabila dikerjakan dengan benar, namun tidak ikhlas, tidak diterima pula. Sehingga ibadah itu dikerjakan dengan ikhlas dan benar." Benar yang dimaksud adalah sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, atau dikenal dengan istilah mutaba'atur rasul.
Dalam hal ini, tak terkecuali ibadah haji. Sebagian orang merasakan begitu beratnya berlaku ikhlas dalam ibadah haji. Sebab, tidak seperti ibadah-ibadah lainnya, jika seseorang telah melaksanakan haji, ia mesti akan mendapat gelar baru yang tertera di depan namanya (Bapak Haji). Karena ibadah haji dianggap sebagai suatu yang sangat istimewa di mata masyarakat umum, maka mereka berusaha mengagungkannya dan mengukur tingkat kemuliaan seseorang dengan gelar itu. Karenanya, bagi seseorang yang melaksanakan haji, jika tidak berhati-hati dengan niatnya, ia bisa terjerumus ke dalam riya dan kehilangan semua pahala hajinya. Yang menjadi pertanyaan, perlukah gelar haji itu bagi seorang muslim yang telah melaksanakannya?
Mestinya, selain gelar bapak haji atau ibu hajah, ada juga gelar bapak/ibu salat, zakat, puasa, atau syahadat. Jadi, jika seseorang telah melaksanakan kelima rukun Islam, di depan namanya akan tertera lima gelar itu. Jika tidak dipakai, sebaiknya dihapus semua. Karena, ketinggian nilai ibadah di sisi Allah itu dilihat dari ketulusan hati seseorang dalam melakukan hal itu, juga implikasi sosialnya, bukan dilihat dari jenisnya secara fisik.
Maka, wajar jika seorang guru besar Al-Azhar Kairo, Dr. Sayyid Razak Thawil, pernah menolak dengan tegas pemakaian gelar haji bagi orang yang telah melaksanakan ibadah tersebut. Alasannya, gelar itu tidak didapat pada zaman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sahabat, bahkan tabi'in. Ia juga menjelaskan bahwa ibadah seseorang bergantung pada keikhlasannya.
Pernyataan di atas patut untuk disimak karena selain alasan yang dikemukakan sangat tepat juga kritiknya mengenai sasaran. Sebenarnya, alasan faktual itu bisa dikembangkan lebih panjang jika disesuaikan dengan kondisi umat Islam di negara-negara berkembang, tanpa terkecuali Indonesia, yang bahkan memiliki lembaga eksklusif yang mewadahi orang-orang yang bergelar haji, yaitu Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI).
Gelar Haji memang merupakan bagian dari legitimasi formal tingkat spiritual seseorang, dan hanya berhak dimiliki oleh orang yang telah melaksanakan rukun Islam yang kelima itu. Tetapi, apakah legitimasi formal itu selalu menunjukkan kualitas spiritual yang substansial?
Sebenarnya, ibadah haji adalah sebagai bagian dari upaya peningkatan keimanan seseorang, jadi tidak dilihat dari gelar yang disandang, namun sampai sejauh mana ibadah yang telah dilaksanakan itu membekas dalam diri, lalu terefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Seharusnya orang yang telah melaksanakan haji mampu meningkatkan kualitas keimanan dan amal salehnya, seperti kedermawanan, kepekaan sosial, kerendahan hati, keadilan, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Jika sifat-sifat itu tidak meningkat secara kualitatif, atau justru malah sebaliknya, dia semakin angkuh, sombong, merasa tinggi, dan membanggakan gelar hajinya, maka bisa jadi pengorbanan biaya, waktu, dan tenaga yang dicurahkan untuk pergi ke tanah suci tidak ada nilainya di sisi Allah, atau bahkan di hadapan manusia.
. . . ibadah haji adalah sebagai bagian dari upaya peningkatan keimanan seseorang, jadi tidak dilihat dari gelar yang disandang . . .
Maka, jika seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji namun dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat tidak meningkatan kesalehan dan tidak mencerminkan bahwa ia telah berhaji, sebaiknya--bahkan seharusnya--gelar haji itu dihilangkan saja, dan tidak perlu disandang. Sebab, hal itu hanya akan menjadikan tampilan fondasi Islam kelima itu kontraproduktif, memperburuk citra, dan mereduksi makna agungnya.
Haji pada tingkat aktualnya merupakan latihan bagi manusia untuk kesalehan sosial, seperti meredam kesombongan, kediktatoran, gila hormat, dan keinginan menindas sesamanya. Sebab, ketika berhaji seseorang harus mencopot pakaian kebesarannya, pakaian sehari-hari yang menciptakan ke'aku'an berdasarkan ras, suku, warna kulit, pangkat, dan lain-lainnya. Semua itu harus ditanggalkan dan diganti dengan pakaian ihram yang sederhana, tidak membedakan antara kaya dan miskin, penguasa, ningrat, rakyat, atau status sosial lainnya. Egoisme ke'aku'an dilebur dalam ke'kita'an, kebersamaan dalam suasana persaudaraan sesama muslim.
Selain itu, haji juga melatih manusia melepaskan diri dari selera konsumtif dan cinta harta. Sebab, manusia ketika berhaji dilarang mengenakan perhiasan dan parfum, dan justru dianjurkan untuk mengorbankan apa yang dimilikinya, bahkan sesuatu yang sangat disukainya, seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam.
Haji juga merupakan latihan untuk mengendalikan hawa nafsu, termasuk nafsu birahi, amarah, dan berkata keji. Allah berfirman, "Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Maka, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk menunaikan haji, maka tidak boleh baginya berhubungan suami istri, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji …." (Al-Baqarah: 197).
. . . nilai substantif haji bukan pada huruf "H" atau "Hj" melainkan ada pada keikhlasan dan ketulusan dalam menunaikan ibadah tersebut serta adanya aktualisasi nilai-nilai ibadah itu yang membekaskan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari. . .
Haji adalah perjalanan menuju Baitullah. Maka, manusia yang akan menuju ke tempat suci itu haruslah dalam keadaan suci. Maksudnya, dibutuhkan kesiapan, bukan hanya kesehatan fisik dan kecukupan materi, tetapi yang lebih penting adalah kesehatan mental dan kesiapan spiritual. Lahirnya para haji yang tidak berkualitas dan tidak mencerminkan kehajiannya bisa jadi karena kekurangsiapan dalam menjalankan ibadah tersebut, di samping mungkin kurang paham dengan makna haji yang sesungguhnya.
Dari penjelasan di atas, kiranya diketahui bahwa nilai substantif haji bukan pada huruf "H" atau "Hj" di muka nama seseorang yang menjadi gelar baginya, dan bukan pula karena yang bersangkutan resmi menjadi anggota IPHI, melainkan ada pada keikhlasan dan ketulusan dalam menunaikan ibadah tersebut serta adanya aktualisasi nilai-nilai ibadah itu yang membekaskan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa bekas kesalehan itu, sebaiknya gelar haji dihapus saja. Wallahu a'lam. [PurWD/voa-islam.com]
No comments
Post a Comment