Mengerjakan Amal Sunnah VS Taat Orang Tua; Mana yang Didahulukan?

Oleh: Badrul Tamam Al-Hamdulillah, kita senantiasa memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Shalawat dan salam teruntuk hamb... thumbnail 1 summary
timthumb (2)Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, kita senantiasa memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Shalawat dan salam teruntuk hamba dan utusan-Nya, Nabi MuhammadShallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dna para sahabatnya.

Apabila terjadi tabrakan antara mengerjakan amal-amal sunnah dan taat kepada kedua orang tua, maka ketaatan kepada keduanya harus didahulukan atas ketaatan yangnawafil (tambahan). Adapun saat keduanya tidak sedang membutuhkan kepada anaknya, maka tidak boleh meninggakan amal-amal sunnah dan nafilah atas nama ketaatan kepada keduanya.

Contohnya: ada seorang anak yang ingin berangkat shalat Jum'at lebih pagi, sementara ia memiliki seorang ayah atau seorang ibu yang membutuhkan tenaganya untuk mengantarnya ke dokter dan semisalnya, maka yang lebih baik atasnya adalah mendahulukan ketaatan dan bakti kepada orang tuanya daripada menghajak amal sunnah tersebut (pergi Shalat Jum'at lebih awal).

Namun di saat orang tuanya tidak sedang membutuhkan tenaga dan bantuannya, maka yang lebih baik atasnya adalah pergi ke shalat Jum'at lebih awal.

Contoh lainnya: ada seorang anak yang ingin tetap duduk di masjid sesudah shalat Shubuh supaya mendapatkan keutamaan zikir di pagi hari sampai terbitnya matahari, namun ibunya tidak suka dengan kebiasaannya itu karena ia harus pergi ke pasar pagi-pagi dan memerlukan tenaga anaknya untuk mengantarnya. Maka mengantar ibunya ke pasar itu lebih baik atasnya daripada duduk berzikir di masjid sampai matahari terbit.

Adapun rasa takut berlebih orang tua terhadap anaknya sehingga melarang sang anak untuk pergi menjalankan ibadah baik yang wajib amaupun yang sunnah seperti shalat Isya' dan Shubuh di masjid, atau melarangnya dari mengerjakan ibadah haji karena khawatir capek dan banyak orang meninggal di sana, maka seorang anak tidak wajib mentaati keduanya. Apalagi jika dalam haji yang fardhu, tidak boleh menaati keduanya.

Imam Al-Bukhari berkata dalam Shahihnya: "Bab wajibnya shalat berjama'ah. Dan berkata al-Hasan, jika ibunya melarangnya dari (mendatangi) shalat Isya' berjama'ah dengan paksa, maka ia tidak (boleh) mentaatinya."

Misal lain: Jika ada ibu yang melarang anak gadisnya mengenakan hijab (pakaian muslimah yang) syar'i, maka seorang anak tidak boleh mentaati ibunya tersebut. Karena,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

"Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan terhadap Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma'ruf." (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam al-Nawawi dalam Syarah-nya atas Shahih Muslim berkata terhadap kisah Juraij Radhiyallahu 'Anhu, bahwa dia lebih mementingkan shalatnya daripada memenuhi panggilan ibunya sehingga ia mendoakan keburukan terhadapnya. Para ulama berkata: Ini adalah dalil bahwa yang benar, ia harus memenuhi panggilan ibunya karena ia sedang shalat nafilah. Melanjutkannya adalah sunnah, tidak wajib. Sementara memenuhi panggilan ibu-nya dan berbakti kepada-nya adalah wajib. Dan menentangnya adalah haram. Sangat memungkin dirinya meringankan shalatnya dan menjawab panggilan ibunya kemudian kembali melanjutkan ibadah shalatnya. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]

No comments

Post a Comment